Praktisi Hukum Beda Pendapat Soal Polemik Pembatalan Pergub Lampung, Tata Kelola Panen dan Produktivitas Tanaman Tebu

Wiliyus Prayietno (net)

Lampung, ALZIERNEWS-Praktisi hukum berbeda pendapat terkait Pergub Lampung No 33 tahun 2020 tentang tata kelola panen dan produktivitas tanaman tebu sebagaimana diubah dengan Pergub Lampung No 19 tahun 2023 yang diajukan oleh Pengawas Lingkungan Hidup KLHK dalam Uji Materi di Mahkamah Agung.

Bambang Handoko, praktisi hukum dan juga Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Aliansi Advokat Indonesia (AAI) Provinsi Lampung mengatakan sangat prihatin dan menyayangkan adanya polemik terkait pembatalan Pergub Lampung No 33 tahun 2020, namun demikian dia tetap mengapresiasi dan menghormati putusan yang di keluarkan MA tersebut.

“Bukan berarti putusan MA tersebut bisa ditafsirkan dengan serampangan, dengan niat-niat tertentu membuat pihak ketiga dalam hal ini perusahaan mengalami kerugian dalam bentuk apapun dengan munculnya desakan -desakan agar dikenakannya sanksi berat terhadap perusahaan dimaksud,”kata Bambang Handoko, jumat (24/5).

Dia menjelaskan sangatlah naif dan melanggar asas kepatutan bila terhadap perusahaan tersebut dikenakan sanksi atas perbuatan atau kebijakan yang masih terdapat payung hukum yang melingkupinya, ketika Pergub belum dibatalkan maka semua perbuatan, tindakan dan kebijakan perusahaan masih dalam koridor yang semestinya.

“Terkecuali saat ini dan kedepan bila Pergub sudah diputuskan batal tapi perusahaan tersebut masih melakukan tindakan dan perbuatan yang sama itu baru melanggar atau melawan hukum. Bahwa sebuah peraturan tidak dapat dikenakan pada kejadian sebelum peraturan disahkan sesuai dengan asas legalitas, “jelasnya.

Dia menambahkan pada masalah tersebut pemberlakuan surut bisa diterapkan dalam peraturan kecuali ketentuan pidana dan pembebanan konkret pada masyarakat, namun untuk peraturan yang berlaku surut harus memuat status dari tindakan hukum yang terjadi atau hubungan hukum yang ada dalam tenggang waktu antara tanggal berlaku surut dan tanggal berlakunya peraturan.

“Agar terjadinya keseimbangan dalam hukum, semua pihak dapat menahan diri dengan harapan semuanya dapat mengevaluasi dan mengambil pelajaran dari proses yang sudah ada dengan menjaga kondusifitas dalam iklim usaha agar bisa berjalan dengan baik dan normal, apalagi Provinsi ini tengah menghadapi proses pemilukada serentak dikhawatirkan akan memicu isu-isu yang bernuansa politis,”ujarnya.

Hal yang berbeda sampaikan oleh
Ketua umum, Transformasi hukum Indonesia (HTI),Wiliyus Prayietno
meminta agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengajukan gugatan perdata kepada perusahaan pengrusak lingkungan hidup seperti yang dilakukan oleh perusahaan sesuai dengan pergub Lampung no 33 tahun 2020 tersebut.

“Kita meminta agar Kementerian Lingkungan Hidup kehutanan (KLHK) melakukan gugatan perdata kepada pihak Koorperat karena dianggap telah merusak lingkungan hidup bahkan untuk membayar ganti kerugian pemulihan akibat pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh pembakaran panen tebu,”kata Wiliyus Prayietno, Sabtu (24/5).

Dia menjelaskan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan akehutanan pernah melakukan gugatan perdata ke salah satu Koorperat sesuai Yurisprudensi Nomor Perkara 735/Pdt.G-LH/2018/PN .JKT.Utr , PT HAYI dinyatakan bersalah melakukan pencemaran lingkungan hidup dan majelis hakim menghukum untuk membayar ganti rugi senilai 12 miliar rupiah dan pihak perusahaan secara sukarela mau melaksanakan putusan secara sukarela bayar ganti kerugian.

“Direktur penyelesaian sengketa KLHK, Jasmin Ragil di tahun 2020 terdapat 12 perusahaan telah mempunyai kekuatan hukum tetap dinyatakan bersalah dan harus membayar ganti kerugian akibat pencemaran lingkungan dan ada nilai ganti kerugian lingkungan senilai 19 triliun yang belum di eksekusi,”jelasnya.

Dia menambahkan bahwa adanya juga tindak pidana yang dapat diberlakukan kepada perusak lingkungan hidup.l sebagaimana diatur dalam UU PPLH (Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup).

“Membuka lahan dengan dibakar merupakan pelanggaran yang dilarang sesuai Pasal 69 ayat 2, yakni pelaku diancam pidana penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda antara Rp 3 miliar sampai Rp 10 miliar,” ujarnya.(amd)